Danantara: Transformasi atau Konsolidasi Kekuasaan?
Banten, Kilometer78.Com - Peluncuran Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2025 menandai babak baru dalam pengelolaan aset negara Indonesia. Dengan menggabungkan tujuh BUMN strategis bernilai Rp14.670 triliun—meliputi Bank Mandiri, BRI, BNI, PLN, Pertamina, Telkom, dan MIND ID—diklaim sebagai “game changer” pertumbuhan ekonomi nasional yang menargetkan pertumbuhan 8 persen. Namun, apakah Danantara benar-benar merupakan solusi transformatif atau hanya sekadar konsolidasi kekuasaan yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik?
Kondisi perekonomian Indonesia saat ini memang memerlukan terobosan signifikan. Meskipun data menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional stabil di sekitar lima persen, tantangan struktural yang kompleks masih dihadapi oleh Indonesia. Tingginya ketimpangan ekonomi, ketergantungan pada komoditas, serta besar kebutuhan investasi dalam infrastruktur menjadi latar belakang pembentukan Danantara. Urgensi pembentukan Danantara juga didorong oleh keberhasilan sovereign wealth fund di negara-negara lain seperti Norwegia dengan Government Pension Fund Global atau Singapura dengan Temasek Holdings. Kedua negara tersebut berhasil mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara untuk kemakmuran jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun belum dikelola secara optimal, Danantara berpotensi menjadi instrumen strategis untuk mengonversi aset statis menjadi investasi produktif yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Secara teoritis, pengelolaan BUMN yang dikonsolidasikan melalui Danantara menawarkan beberapa manfaat potensial. Pertama, terciptanya efisiensi operasional dengan adanya sinergi antar-BUMN yang selama ini beroperasi secara terpisah. Kedua, adanya optimalisasi dalam alokasi modal yang dapat menghindari investasi yang tumpang tindih serta memfokuskan pada sektor-sektor strategis. Ketiga, dengan konsolidasi aset yang lebih besar dan terorganisir, daya tawar Indonesia di panggung investasi global dapat meningkat. Keempat, manajemen akan lebih profesional melalui penerapan tata kelola yang lebih ketat jika dibandingkan dengan pengelolaan tradisional oleh kementerian terkait.
Danantara juga berpotensi untuk menjadi penggerak dalam transformasi digital serta transisi energi di Indonesia. Dengan mengombinasikan kekuatan Telkom di bidang telekomunikasi, PLN dalam listrik, dan Pertamina di sektor energi, konsolidasi ini mampu mempercepat pengembangan infrastruktur digital dan energi terbarukan yang sangat penting untuk daya saing ekonomi di masa depan. Dalam dunia perbankan, kolaborasi antara Bank Mandiri, BRI, dan BNI dapat membentuk ekosistem keuangan yang lebih kokoh untuk mendukung pendanaan UMKM serta proyek-proyek strategis di tingkat nasional.
Namun, di balik potensi keuntungan yang ada, terdapat berbagai risiko yang harus diperhatikan dengan serius. Kekhawatiran utama adalah risiko sistemik, terutama ketika aset bernilai Rp14.670 triliun dikelola di bawah satu entitas. Pengalaman Korea Selatan dengan chaebol menunjukkan bahwa konsentrasi ekonomi yang berlebihan bisa menyebabkan kerentanan sistemik yang sangat berbahaya. Selain itu, ada juga risiko politisasi yang mengintai, karena struktur kepemilikan negara memberikan peluang untuk intervensi politik dalam pengambilan keputusan bisnis. Tantangan dalam koordinasi internal juga cukup rumit, mengingat perbedaan karakteristik di antara sektor perbankan, energi, telekomunikasi, dan pertambangan, yang memerlukan keahlian manajemen yang sangat spesifik.
Untuk mencapai keberhasilan Danantara, diperlukan lima strategi utama yang saling terintegrasi. Implementasi bertahap dengan monitoring ketat menjadi kunci pertama, mengingat pengalaman internasional menunjukkan bahwa pendekatan big bang seringkali kontraproduktif dan menimbulkan disrupsi yang tidak diinginkan. Penguatan struktur governance melalui keterlibatan profesional independen dalam manajemen dan pengawasan akan memitigasi risiko politisasi sambil meningkatkan kredibilitas di mata investor global. Transformasi digital yang terintegrasi perlu dikembangkan melalui sebuah roadmap yang jelas, guna mengoptimalkan kolaborasi antar-BUMN serta menciptakan nilai tambah melalui inovasi dalam produk dan layanan. Aspek terkait transparansi dan akuntabilitas perlu diperkuat dengan pelaporan publik yang komprehensif, audit yang independen, serta keterlibatan aktif pihak-pihak terkait untuk membangun kepercayaan masyarakat. Selain itu, diperlukan strategi talent management yang solid untuk memastikan tersedianya sumber daya manusia berkualitas tinggi yang mampu mengelola kompleksitas operasional dengan berinvestasi pada pengembangan kapabilitias serta program leadership development.
Danantara merupakan inisiatif ambisius yang berpotensi mentransformasi lanskap ekonomi Indonesia jika diimplementasikan dengan tepat. Namun, keberhasilan inisiatif ini tidak hanya bergantung pada konsolidasi struktural, melainkan pada kemampuan mengelola kompleksitas operasional, memitigasi risiko sistemik, dan membangun governance yang kuat. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa konsolidasi ekonomi dapat menjadi katalis transformasi positif atau justru menciptakan kerentanan baru, tergantung pada kualitas implementasinya. Danantara memiliki potensi untuk menjadi game changer yang sesungguhnya. Namun, untuk mencapai hal ini, diperlukan komitmen jangka panjang terhadap profesionalisme, transparansi, dan kemampuan beradaptasi di tengah perubahan dinamika ekonomi global yang terus berubah. Keberhasilan Danantara akan menjadi indikator kemampuan Indonesia dalam mengelola transformasi ekonomi di masa yang penuh ketidakpastian ini.
Sumber: Kompas.com
Oleh: Nabila I’zaz Kandi
Mahasiswi Prodi Administrasi Publik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Posting Komentar